Selasa, Mei 06, 2008

Kesehatan : Hipertensi Tanpa Gejala


TAK ada cara mengetahui hipertensi selain pemeriksaan tekanan darah. Penyakit itu kerap datang tanpa gangguan penanda.

Datang diam-diam tanpa menimbulkan keluhan apa pun. Demikianlah kamuflase hipertensi yang mampu menjebak setiap orang. Seperti pengakuan Karyono, 56, yang tak menyangka bila kerusakan ginjal yang dialaminya berawal dari hipertensi yang terdeteksi pada 2001 silam.

Ketika dokter menjatuhkan vonis gagal ginjal pada tahun 2004, warga Bekasi itu merasa dunia seolah gelap. Hidup pun tak tenteram dan dilanda stres. "Kala itu rasanya tidak punya harapan," kenangnya. Kini, dia harus sabar dan tegar menjalani cuci darah rutin seumur hidup.

Berkaca pada pengalaman Karyono, sebaiknya jangan pernah menyepelekan penyakit tekanan darah tinggi alias hipertensi. Kasus tersebut seakan mengukuhkan julukan "the silent disease" bagi penyakit yang ditandai dengan kenaikan level tekanan darah hingga 140/90 mmHg atau lebih itu. Pasalnya, rata-rata penderita memang tidak mengetahui dirinya mengidap hipertensi sebelum memeriksakan tekanan darahnya.

Sayangnya, banyak masyarakat yang belum sadar atau masih enggan memeriksakan kesehatan yang terkait hipertensi. Ada yang beralasan malas, tapi ada pula yang tidak ke dokter karena merasa badannya baik-baik saja tanpa keluhan. "Di negara maju seperti Amerika saja, hanya 70 persen orang yang sadar bahwa dia hipertensi, dan yang betul-betul berobat tidak lebih dari 30 persen," ungkap anggota dewan penasihat Perhim punan Hipertensi Indonesia atau Indonesian Society of Hypertension (InaSH), Prof Dr Jose Roesma PhD SpPD-KGH.

Penyakit kardiovaskular (CVD) yang merupakan terminologi untuk gangguan yang menyebabkan penyakit jantung dan pembuluh darah, konon menjadi penyebab utama kematian dan kecacatan di seluruh dunia. Perbandingannya satu dari tiga kematian di seluruh dunia. Terbukti, hipertensi merupakan faktor risiko yang paling banyak menyebabkan morbiditas dan kematian akibat CVD.

Presiden InaSH Dr Arieska Ann Soenarta SpJP (K) mengemukakan bahwa terdapat beberapa faktor risiko CVD. Beberapa di antaranya memang tidak dapat dikendalikan, seperti usia, jenis kelamin, dan riwayat CVD pada keluarga. Namun, faktor-faktor risiko seperti kadar kolesterol tinggi, hipertensi, diabetes, obesitas, dan gaya hidup tidak sehat, sejatinya bisa dikendalikan dan dihindari.

"Makin banyak faktor risiko, makin tinggi risiko kematian. Namun, faktor risiko yang paling penting harus dicegah adalah hipertensi!" sebut wanita yang akrab disapa Ann itu.

Hipertensi memang menjadi masalah kesehatan masyarakat, dan akan menjadi masalah yang lebih besar jika tidak ditanggulangi sejak dini. Prof Jose mengungkapkan, sekitar 90 persen hipertensi disebabkan faktor yang diturunkan. Artinya, orang yang hipertensi punya "bakat" yang didapat dari keturunan. Akan tetapi, faktor genetik hanya akan muncul jika ada faktor pemicu dari lingkungan seperti kegemukan, merokok, konsumsi garam, dan alkohol berlebih, stres, atau hidup santai yang kurang gerak dan olahraga.

"Deteksi dini diperlukan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut, atau yang lebih baik lagi adalah mencegah bakat yang sudah ada agar tidak muncul," sarannya.

Hipertensi dapat muncul setelah setahun atau ditemukan saat sudah terjadi komplikasi. Ketika terjadi kenaikan darah yang signifikan, maka yang bersang kutan dapat merasakan gejala seperti sakit kepala, mengantuk, keletihan, sulit tidur, gemetar, mimisan atau penglihatan kabur. Bahkan, pada hipertensi maligna, bisa muncul keluhan sakit kepala, kerusakan penglihatan, kejang, hingga koma.

Tidak ada komentar: